Jamur obat yang sangat berharga di China memicu ledakan ekonomi di Dataran Tinggi Tibet.
Oleh Michael Finkel
Foto oleh Michael Yamashita
Foto oleh Michael Yamashita
sumber https://nationalgeographic.co.id
Benda
yang dicari OLEH Silang sambil merangkak di tanah, 4.700 meter di atas
permukaan laut di Dataran Tinggi Tibet, sungguh ajaib.
Bagian yang berada di atas tanah berupa
jamur kecil tanpa tudung. Hanya batang cokelat sekecil korek api,
mencuat beberapa sentimeter di tanah becek. Sebelas jam sehari, dari
awal Mei sampai akhir Juni, Silang Yangpi dan istrinya serta serombongan
besar kerabat dan temannya merangkak di lereng gunung yang curam.
Mereka mengais semak, ranting, bunga liar, dan rumput, mencari jamur
kecil yang sulit ditemui.
Ketika Silang menemukannya, dia
berteriak kegirangan. Istrinya, Yangjin Namo, bergegas menghampiri.
Dengan sekop kecil, Silang menggali sekeliling batang itu dan secara
hati-hati mengangkat tanahnya. Dia menyikat kotoran yang menempel. Di
telapak tangannya ada sesuatu mirip ulat berwarna kuning terang. Mati.
Di kepalanya menempel jamur cokelat pipih. Dari sakunya, Silang
mengeluarkan kantong plastik merah. Dia memasukkan temuannya, lalu
dengan hati-hati melipat kantong itu. Silang berusia 25 tahun; istrinya
21 tahun. Mereka punya seorang bayi perempuan. Jamur ulat adalah sumber
sebagian besar pendapatan tahunan mereka.
Di seantero Dataran Tinggi
Tibet, jamur ulat ini mengubah ekonomi pedesaan. Jamur ini memicu demam
emas modern. Bahkan, saat Silang tiba di toko-toko yang gemerlap di
Beijing, isi kantongnya bisa laku keras dengan harga lebih dari dua kali
lipat emas dengan berat yang sama.
Jamur ini bernama yartsa gunbu.
Nama dalam bahasa Tibet ini berarti “rumput musim panas, ulat musim
dingin”, sekalipun secara teknis makhluk ini bukan rumput atau ulat.
Makhluk ini sebenarnya larva beberapa jenis ngengat hantu yang hidup di
dalam tanah dan terinfeksi spora jamur parasit Ophiocordyceps sinensis.
Jamur ini menggerogoti tubuh sang ulat dan hanya menyisakan rangka luar
yang utuh. Kemudian saat musim semi tiba, mekarlah batang cokelat atau
stroma yang tumbuh di kepalanya. Ini hanya terjadi di padang rumput
pegunungan tinggi yang subur di Dataran Tinggi Tibet dan Himalaya.
Selama berabad-abad, yartsa gunbu
dianggap sebagai obat mujarab dan obat kuat yang luar biasa. Salah satu
deskripsi paling awal mengenai yartsa berasal dari teks Tibet abad
ke-15, berjudul Samudra Kenikmatan, yang membahas “pusaka
sempurna” yang “menganugerahkan manfaat tak terbayangkan”. Cukup
didihkan beberapa batang bersama secangkir teh, atau direbus bersama
sup, atau dipanggang bersama bebek, dan semua penyakit akan
sembuh—setidaknya begitu kata orang.
Ulat itu, demikian orang biasa
menyebutnya, diresepkan oleh tabib untuk menyembuhkan sakit punggung,
lemah syahwat, sakit kuning, dan kelelahan. Untuk mengobati
tuberkulosis, asma, bronkitis, hepatitis, anemia, dan emfisema.
Pengobatan untuk HIV/AIDS. Bahkan dapat menyembuhkan kerontokan rambut.
Seiring melesatnya perekonomian
China, permintaan yartsa semakin meningkat—benda ini menjadi simbol
status di pesta makan malam dan menjadi hadiah pilihan untuk
menyenangkan hati pejabat pemerintah. Pada 1970-an, setengah kilogram
ulat ini berharga 2.000-5.000 rupiah. Pada awal 90-an, harga setengah
kilogram masih kurang dari dua juta rupiah. Sekarang harga setengah
kilogram yartsa kualitas terbaik pada tingkat eceran dapat mencapai
475-an juta rupiah.
Permintaan yang sangat besar
tersebut memicu kekhawatiran bahwa panen tahunan, sekarang sekitar 400
juta batang, akan berkurang karena lahan yartsa dipanen secara
berlebihan. Kata ahli ekologi Daniel Winkler, agar panen jamur ulat ini
dapat berkesinambungan, pemanen harus menyisakan beberapa batang agar
bisa tumbuh dewasa dan menginfeksi larva musim selanjutnya. Hal yang
terjadi malah sebaliknya, kebanyakan penduduk desa mengambil semua jamur
yang ditemukannya.
Akibat rezeki nomplok tahunan
dari yartsa, ribuan penggembala yak Tibet yang dulu miskin sekarang
memiliki sepeda motor, iPhone, dan TV layar datar. Perebutan lahan
yartsa—kebanyakan wilayah hanya memperbolehkan panen oleh warga yang
memiliki izin—menyebabkan bentrokan, termasuk tujuh pembunuhan di
Nepal utara, tempat sebagian kecil yartsa dunia berasal. Di kota
Chengdu, Provinsi Sichuan, pencuri pernah menggali terowongan ke toko
yang menjual yartsa. Mereka menggondol barang senilai lebih dari 14
miliar rupiah. Polisi China mendirikan pos-pos pemeriksaan di pinggir
jalan untuk mencegah para pemanen gelap menyelinap ke lereng bukit yang
diperuntukkan bagi desa-desa setempat.
Kini di banyak tempat seperti kota
Serxu—tempat kediaman Silang dan istrinya, semua aspek kehidupan
terabaikan demi mencari yartsa saat tanah menghangat dan rumput bersemi.
Anak-anak, dengan mata tajam dan tubuh yang lebih pendek, sering
menjadi pemanen terbaik. Beberapa sekolah tutup sepanjang satu bulan,
selama liburan yartsa.
Selama puncak panen, pasar
Serxu membentang di sepanjang trotoar becek yang mengapit jalan utama
kota. Di tempat bersuasana kota perbatasan ini, di tengah perbukitan
gundul yang bertebaran tenda gembala dan kibaran bendera doa, orang
terbiasa berdandan untuk pergi ke pasar.
Banyak yang memakai mantel
tradisional Tibet. Lengan bajunya begitu panjang sehingga sarung tangan
tak diperlukan lagi. Kaum pria mengenakan topi koboi lebar dan sepatu
bot kulit. Pisau terselit di pinggang. Wanita berjalan ke sana kemari
memamerkan kalung manik-manik batu ambar seukuran bola golf. Bahkan ada
juga beberapa biksu yang terbungkus jubah merah. Agama melarang mereka
memanen atau makan yartsa, tapi tidak ada larangan untuk membeli dan
menjual.
Tauke yartsa membawa timbangan
loyang kecil dan kalkulator tenaga surya. Jamur ulat ditampung dalam
kotak kardus dan keranjang anyaman, atau dihamparkan di atas lapik.
Ketika tauke didekati oleh seseorang seperti Silang—lutut berlumpur,
dengan sekantong yartsa yang baru digali—ulat itu diperiksa secara
saksama. Harganya bergantung pada ukuran, warna, dan kepadatan. Sang
tauke memeriksa satu demi satu, sering kali membersihkan tanah yang
menempel dengan alat pembersih khusus yartsa yang mirip sikat gigi
besar. Warga berkerumun.
Sudah menjadi kebiasaan, ketika hendak membeli, sang tauke menghujani dengan ejekan.
“Saya tidak pernah membeli ulat sejelek ini.”
“Warnanya tidak bagus. Terlalu gelap.”
“Yang ini bisa bikin rugi.”
Akhirnya, tauke mengulurkan
tangannya, lengan mantel Tibetnya menjuntai. Penjual pun memasukkan
tangan ke dalamnya. Kemudian, dengan menggunakan jemari, keduanya
melakukan tawar-menawar dalam lengan mantel tanpa terlihat mata orang
banyak. Tawar-menawar terjadi dengan cepat, kain mantel teregang dan
terpuntir. Ketika jari-jari mereka berhenti dan harga disepakati, uang
dibayarkan melalui lengan baju.
Silang dan Yangjin mendekati
tauke yang biasa membeli barang mereka. Seorang pria yang juga bernama
Silang—Silang Yixi, 33, yang sudah berkecimpung dalam bisnis ini selama
delapan tahun. Kedua Silang melakukan hal yang biasa: Pada akhirnya,
untuk 30 ulat mereka, sebagian besar terlalu kecil untuk mendapatkan
harga terbaik, Silang dan Yangjin dibayar 580 yuan, sekitar 860 ribu
rupiah.
Zhaxicaiji turun dari Toyota
Sequoia edisi Platinumnya yang dikemudikan sopir, menyandang tas tangan
Prada, lalu berjalan ke toko utama kerajaan yartsa gunbu-nya. Dia
pendiri dan presiden Perusahaan Obat Three Rivers Source. Dia mengelola
500 karyawan dan 20 toko; penjualan tahunannya bisa melebihi 565 miliar
rupiah.
Saat kecil, Zhaxicaiji yang
sekarang berusia akhir 40-an, sama seperti Silang dan Yangjin. Dia
merangkak di perbukitan, mengambil ulat. Keluarganya memelihara yak dan
domba, dan tinggal di tenda dari rambut yak. Dia memulai bisnis itu pada
1998 dengan uang sendiri sebesar 1,2 juta rupiah dan memanfaatkan
tsunami yartsa menuju kesuksesan. Dia berencana memasuki pasar
internasional, mengekspor yartsa ke tempat-tempat seperti Jepang, Korea,
dan Malaysia. Dalam satu dasawarsa, katanya, ulatnya akan dijual di
Amerika Serikat.
Tokonya di kota Lanzhou, China
tengah, menempati satu blok kota; di pintu masuknya terpampang layar
video raksasa yang menayangkan iklan ulatnya. Di dalamnya terdapat
kandil mewah, air mancur, petugas keamanan berseragam, dan jambangan
bunga potong segar. Yartsanya dipajang dalam puluhan kotak kaca ala
museum, suhu dan kelembapannya dikontrol dengan tepat.
Tauke di pasar perbatasan
menjual ke pasar yang lebih besar, selanjutnya para penampungnya
biasanya pergi ke pasar yartsa terbesar di China, yang buka sepanjang
tahun, sesibuk dan seramai bursa efek, dan meliputi seluruh distrik di
Xining, sebuah kota di barat kantor pusat Zhaxicaiji. Banyak ulat kuning
yang terbaik, terbesar, dan terpadat dipilih oleh para pembeli
Zhaxicaiji. Sebelum dipajang untuk dijual, semua diperiksa dengan
sinar-x—sering terjadi orang mencampurkan potongan kawat untuk menambah
berat.
Sebuah Mercedes hitam berhenti
di depan tokonya dan empat pria setengah baya, mengenakan kaus polo dan
arloji besar, duduk di depan salah satu kotak kaca. Mereka segera
dilayani oleh staf perempuan muda. Para pria itu minum air yartsa
terendam sambil memilih-milih. Ulat itu kemudian dikemas rapi dalam
kotak kayu merah tua dengan bagian dalam dari kain laken dan kunci
kuningan. Kemasan itu mengubah produk yang sangat tidak menarik—ulat
kuning yang agak berbau amis dengan makhluk aneh yang muncul dari
kepalanya—menjadi sesuatu yang mewah. Dalam waktu sepuluh menit para
pria itu menghabiskan hampir 300 juta rupiah.
Di lantai lima sebuah gedung tinggi
apartemen modern di sisi timur Beijing, sambil berbaring di sofa dan
diapit oleh anjing bichon frise-nya, Yu Jian menyesap secangkir teh
yartsa gunbu yang baru diseduh. Yu berusia 40 tahun. Belum lama ini, dia
menjabat sebagai eksekutif di perusahaan makanan kesehatan. Namun,
pada Oktober 2010 dia didiagnosis mengidap kanker rahim.
Dia menjalani pengobatan
modern, termasuk rangkaian panjang kemoterapi. Namun, dia juga
memutuskan untuk berobat kepada sinse. Sang sinse meresepkan yartsa. Dia
telah memakainya selama sekitar enam bulan. Setiap malam, ia memasukkan
dua ulat ke dalam segelas air dan membiarkannya semalaman. Keesokan
paginya dia mendidihkan air tersebut bersama beberapa buah kurma kering.
Dia minum seduhan itu dan kemudian memakan ulat yang telah melunak.
Yu hanya membeli yartsa
kualitas terbaik, dari jaringan apotek Tongrentang—salah satu dari
beberapa merek yang lebih terkenal dan lebih mahal daripada Zhaxicaiji.
Sekantong berisi 24 ulat ukuran sedang, cukup untuk persediaan beberapa
minggu, dibelinya senilai 5,2 juta rupiah. “Saya pikir sepadan,”
katanya, meskipun dia menyadari keraguan mengenai keampuhan obat
tersebut. Sejauh ini kemujaraban yartsa gunbu belum terbukti.
Beberapa penelitian, yang
sebagian besar dilakukan di China, mengungkapkan bahwa jamur itu memang
mengandung zat peningkat sistem kekebalan tubuh yang dikenal sebagai beta-glucan dan zat antivirus yang bernama cordycepin.
Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa obat itu dapat membantu
meringankan banyak penyakit yang selama ini dianggap dapat diobatinya,
termasuk bronkitis, asma, diabetes, hepatitis, kolesterol tinggi, dan
lemah syahwat. Namun, para pengkritik mengatakan bahwa penelitian
tersebut hanya dalam skala kecil dan metodologinya dipertanyakan.
“Sampai ada yang melakukan uji
klinis besar menggunakan produk berkualitas tinggi, ilmu pengetahuan
yang kita andalkan selama ini tak menyatakan dampak yang signifikan,”
kata Brent Bauer, direktur Complementary and Integrative Medicine
Program di Mayo Clinic, yang meneliti obat-obatan herbal secara
mendalam.
Terlebih lagi, kata ahli mikologi
Paul Stamets, yartsa liar mungkin saja tercemar banyak jamur tak dikenal
yang bisa jadi berbahaya. “Orang bisa keracunan,” kata Stamets. “Bagi
yang tidak berpengalaman, itu semacam rolet rusia.” Buktinya mungkin
memang jauh dari sahih, tetapi keyakinan akan kemujaraban yartsa begitu
meluas.
Yu Jian mengaku ia bisa
merasakan efek ulat itu. Dia mengatakan obat itu meningkatkan semangat
dan membangkitkan “energi kehidupan”—yang dikenal di China sebagai qi (dibaca chi). Namun, energi aktualnya bisa saja berbeda.Meskipun dia sangat kurus, warna kulit Yu memang agak kemerahan dan terlihat bersemangat. Saat merasa sehat, memang mudah untuk menyatakan kemustajaban ulat tersebut. Di saat lainnya, dia harus menghadapi kenyataan bahwa semua obat, sama-sama memiliki keterbatasan. Namun, pada kunjungan terakhirnya, dokternya terkejut oleh kecepatan pemulihannya. “Dia bahkan tidak ingat saya pengidap kanker,” katanya.
Komentar